Tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa dan untuk lebih menjamin kepastian hukum, menghindari keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas tindak pidana korupsi, atas dasar pertimbangan tersebut diadakan perubahan atas Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2021.
Istilah korupsi atau rasuah (bahasa Latin: corruptio dari kata kerja corrumpere yang bermakna busuk, rusak, menggoyahkan, memutarbalik, menyogok) adalah tindakan pejabat publik, baik politisi maupun pegawai negeri, serta pihak lain yang terlibat dalam tindakan itu yang secara tidak wajar dan tidak legal menyalahgunakan kepercayaan publik yang dikuasakan kepada mereka untuk mendapatkan keuntungan sepihak.
Dari sudut pandang hukum, tindak pidana korupsi secara garis besar memenuhi unsur-unsur yaitu perbuatan melawan hukum, penyalahgunaan kewenangan, kesempatan, atau sarana, memperkayadiri sendiri, orang lain, atau korporasi, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.
Adapun jenis- jenis tindak pidana korupsi yaitu Memberi atau menerima hadiah atau janji (penyuapan), Penggelapandalam jabatan, Pemerasan dalam jabatan, Menerima gratifikasi (bagi pegawai negeri/penyelenggara negara)
Kalau dilihat dari unsur substansinya penekanan tindak pidana korupsi adalah merugikan keuangan negara dan psrekonomian negara dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau memperkaya orang lain.
Dalam praktek sering terjadi kekeliruan penafsiran dalam penetapan tersangka atau penetapan keputusan sanksi terhadap para pelaku tindak pidana korupsi yaitu para pelaku yang tidak terlibat jauh dan tidak secara langsung berhubungan dengan kerugian keuangan negara (ikut terseret sebagai tersangka) karena dianggap sebagai penanggung jawab kegiatan meskipun dalam realitasnya tersangka pelaku tindak pidana tidak memenuhi unsur – unsur kerugian negara hanya terkait dalam hal sebagai penanggung jawab kegiatan sedang pelakunya yang memenuhi unsur -unsur korupsi telah diketahui dan secara fakta penanggung jawab kegiatan / KPA tidak memenuhi unsur-unsur korupsi dan keterlibatannya hanya pada batas sebagai penanggung jawab kegiatan bukan sebagai penyebab kerugian negara atau ikut serta dalam mengambil keuntungan dari keuangan negara yang dibebankan kepadanya.
Syarat penetapan tersangka diatur dalam KUHAP yang kemudian telah disempurnakan dengan adanya Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, dimana dalam putusan tersebut dijelaskan bahwa penetapan tersangka harus berdasarkan (1) minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan (2) disertai dengan pemeriksaan calon tersangkanya.
Pasal 184 (1) KUHAP
Alat bukti yang sah ialah keterangan saksi, keterangan ahli, surat petunjuk, keterangan terdakwa. Lebih lanjut, Putusan MK Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, memberikan Pengertian tentang “bukti yang cukup” yaitu berdasarkan dua alat bukti ditambah keyakinan penyidik yang secara objektif (dapat diuji objektivitasnya) mendasarkan kepada dua alat bukti tersebut telah terjadi tindak pidana dan seseorang sebagai tersangka pelaku tindak pidana.
Pasal 66 ayat (1) dan ayat (2) Perkap Pengawasan Dan Pengendalian Penanganan Perkara Pidana Di Lingkungan Kepolisian Negara Republik Indonesia
Status sebagai tersangka hanya dapat ditetapkan oleh penyidik kepada seseorang setelah hasil penyidikan yang dilaksanakan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti.
Untuk menentukan memperoleh bukti permulaan yang cukup yaitu paling sedikit 2 (dua) jenis alat bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditentukan melalui gelar perkara.
Oleh karena itu disimpulkan bahwa seseorang hanya bisa ditetapkan sebagai tersangka bila terdapat minimal 2 (dua) alat bukti sebagaimana termuat dalam pasal 184 KUHAP dan, sebelumnya telah pernah diperiksa sebagai calon tersangka/saksi.
Jika seseorang ditetapkan sebagai tersangka, sementara syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka tersangka dapat mengajukan praperadilan, sebagaimana Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 21/PUU-XII/2014 tanggal 28 April 2015, Mahkamah menambah penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan termasuk sebagai obyek praperadilan pada Pasal 77 KUHAP.
Pasal 77 huruf a KUHAP:
Pengadilan negeri berwenang untuk memeriksa dan memutus, sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini tentang sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.