Advokat Syarif Habib Hamdani Alkaf, S.H., M.H. mengambil akta cerai sekaligus menanyakan sita eksekusi terhadap harta bersama milik klien selaku penggugat / pemohon di Pengadilan Agama Banjarmasin (Senin, 11 Desember 2017).
Akta Cerai diterbitkan oleh Pengadilan Agama setelah seluruh rangkaian proses pemeriksaan Perkara Cerai telah selesai dan telah diputus oleh Majelis Hakim, serta telah berkekuatan hukum tetap (incraht van bewijsde). Putusan dianggap telah diketahui oleh para pihak berperkara jika kedua belah pihak hadir saat sidang pembacaan putusan. Namun jika salah satu tidak hadir maka dihitung sejak diberitahukan melalui suatu Relas Pemberitahuan Putusan (PIP) dan ditandatangani oleh pihak yang tidak hadir tersebut. Jika para pihak tidak melakukan upaya hukum Banding, maka setelah 14 Hari, putusan Perkara Cerai tersebut telah berkekuatan hukum tetap. Setelah memenuhi syarat berkekuatan hukum tetap, selanjutnya Pengadilan Agama menerbitkan Akta Cerai bagi para pihak berperkara masing-masing satu helai sebagai pegangan bahwa keduanya sudah resmi bercerai.
Dengan terbitnya Akta Cerai, maka Akta Nikah ditahan oleh Pengadilan Agama dan selanjutnya Pengadilan Agama akan mengirimkan salinan putusan kepada KUA tempat kedua belah pihak dahulu melangsungkan pernikahan dan / atau kepada KUA tempat tinggal masing’masing untuk dicatatkan dalam daftar yang disediakan untuk itu.
Sebaiknya pastikan pembaca hadir dalam sidang agar penghitungan waktu dimulai sejak tanggal dibacakan putusan oleh Majelis Hakim. Jika tidak, maka pastikan pihak yang tidak hadir menandatangani Relas Pemberitahuan Isi Putusan (PIP) yang dikirimkan kepadanya.Ketika pembaca hendak mengetahui proses pasca putusan untuk menanyakan kejelasan mengenai Akta Cerai, maka usahakan datang langsung ke Pengadilan Agama yang memutus perkara, jangan melalui telepon karena jarang sekali dijelaskan melalui komunikasi terbatas tersebut. Pembaca akan lebih leluasa bertanya langsung ke Petugasnya.
Akta Cerai harus diambil oleh yang bersangkutan. Akta Cerai bagi ex-Suami diambil olehnya sendiri atau oleh wakilnya yang dikuasakan. Begitu pula Akta Cerai bagi ex-Istti diambil olehnya sendiri atau oleh wakilnya yang ditunjuk dengan Surat Kuasa. Apabila pembaca hendak mengambil Akta Cerai, maka tanyakan dengan jelas dahulu Perkara Cerainya disidangkan di Pengadilan Agama mana, dan yang lebih penting adalah berapa Nomor Register Perkaranya. Pembaca akan kesulitan meminta Akta Cerai jika tidak mengetahui dengan pasti Nomor Register Perkara. Pembaca akan dikenakan biaya sesuai dengan tarif yang berlaku sebagai Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), termasuk biaya mengambil Salinan Putusan Perkara Cerainya sekaligus saat menerima Akta Cerai tersebut.
Dalam Perkara Cerai yang diajukan oleh pihak suami, jika setelah lewat waktu 6 (enam) bulan sejak dipanggil untuk sidang “Pembacaan Ikrar Talak” tidak hadir dan tidak membacakan Ikrar Talak dalam sidang tersebut, maka perceraiannya batal dan dianggap perkawinan masih utuh seperti semula.
Penghitungan waktu agar putusan telah berkekuatan hukum tetap adalah sejak diucapkannya Ikrar Talak pada sidang tersebut, bukan sejak hari pembacaan Putusan atas Permohonan Talak.
Dikutip dari http://perkaracerai.blogspot.co.id/2017/02/akta-cerai.html
Adapun untuk pembagian harta bersama karena perceraian adalah Jika sebelum perkawinan telah dibuat perjanjian kawin yang intinya memisahkan seluruh harta bawaan dan harta perolehan antara suami istri tersebut, maka ketika perceraian terjadi, masing-masing suami/istri tersebut hanya memperoleh harta yang terdaftar atas nama mereka. Karena tidak dikenal istilah harta bersama atau istilah awamnya “harta gono gini”. Dengan demikian, dalam kasus tersebut, sang suami tidak berhak terhadap deviden dari usaha tersebut, juga terhadap harta lainnya yang menjadi milik istri, begitu juga sebaliknya.
Namun, apabila di antara suami istri tersebut tidak pernah dibuat Perjanjian Kawin, maka berdasarkan Pasal 119 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, terhitung sejak perkawinan terjadi, demi hukum terjadilah percampuran harta di antara keduanya (jika perkawinan dilakukan sebelum berlakunya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan – “UU Perkawinan”). Akibatnya harta istri menjadi harta suami, demikian pula sebaliknya. Inilah yang disebut sebagai harta bersama. Terhadap harta bersama, jika terjadi perceraian, maka harus dibagi sama rata antara suami dan istri. Pembagian terhadap harta bersama tersebut meliputi segala keuntungan dan kerugian yang didapatkan dari usaha maupun upaya yang dilakukan oleh pasangan suami/istri tersebut selama mereka masih terikat dalam perkawinan.
Sedikit berbeda dengan pengaturan sebelum berlakunya UU Perkawinan, setelah berlakunya UU Perkawinan, tentang harta benda dalam perkawinan diatur dalam Pasal 35 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan.Yang berbeda adalah bagian harta yang mana yang menjadi harta bersama. Dalam KUHPerdata, semua harta suami dan istri menjadi harta bersama. Dalam UU Perkawinan, yang menjadi harta bersama adalah harta benda yang diperoleh selama perkawinan, sedangkan harta yang diperoleh sebelum perkawinan menjadi harta bawaan dari masing-masing suami dan istri. Harta bawaan dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan berada di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.
Dikutip dari http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt53b65a5e2cfef/pembagian-harta-bersama-jika-terjadi-perceraian